SEPSIS
Dosen Pembimbing : Ns. Deny Harianto
Disusun Oleh :
Hematologi (Penyakit Sepsis)
1. Catarina Dirsia(16012)
2. Erni Indah Sari(160)
3. Ira Safira(16025)
AKADEMI KEPERAWATAN HARUM JAKARTA
TAHUN AKADEMIK
2016-2017
A. DEFINISI
Istilah awam untuk sepsis adalah keracunan darah, yang juga
digunakan untuk menggambarkan septikemia. Sepsis mencakup spektrum penyakit
yang berkisar dari keluhan seperti demam, menggigil, malaise, tekanan darah
rendah, dan perubahan status mental. sampai gejala disfungsi organ dan syok.
Sepsis disebabkan oleh kehadiran bakteri (bakteremia) dan
organisme pernginfeksi lainnya atau racun dalam darah (septikemia) atau pada
jaringan lain dari tubuh. Sistem kekebalan tubuh mengakibatkan terbentuknya
bekuan-bekuan kecil darah yang dapat menghalangi aliran darah ke organ vital.
Hal ini dapat menyebabkan kegagalan organ.
Sepsis terutama menyerang bayi, orang tua dan orang-orang
dengan sistem kekebalan yang lemah, meskipun juga dapat terjadi pada orang
dewasa muda yang sehat.
Sepsis didefinisikan sebagai keadaan klinis yang ditandai
oleh sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) disertai adanya bakteri pathogen
(infeksi) yang ditemukan melalui kultur atau pewarnaan gram dari spesimen tubuh
sepertidarah, sputum, feses, urin dan spesimen tubuh lainnya atau ditemukan
fokus infeksi seperti luka dengan pus purulen atau adanya udara bebas pada
rongga abdomen yang ditemukan pada saat operasi yang berasal dari saluran
penceraan. (Jurnal Kardiol Indonesia. 2010;31:178).
Sepsis neonatorum adalah sindroma klinis dari kelainan
sistemik yang disebabkan oleh bakteremia pada umur 28 hari pertama (Bobak,
2005)..
B.
Patofisiologi Sepsis
a. Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai
neonatus melalui beberapa cara yaitu :
Pada masa antenatal atau sebelum lahir pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilicus masuk kedalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat menembus plasenta, antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain malaria, sifilis dan toksoplasma
Pada masa antenatal atau sebelum lahir pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilicus masuk kedalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat menembus plasenta, antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain malaria, sifilis dan toksoplasma
b. Pada masa intranatal atau saat persalinan infeksi saat
persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai
kiroin dan amnion akibatnya, terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya
kuman melalui umbilkus masuk ke tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat persalinan,
cairan amnion yang sudah terinfeksi dapat terinhalasi oleh bayi dan masuk ke
traktus digestivus dan traktus respiratorius, kemudian menyebabkan infeksi pada
lokasi tersebut. Selain melalui cara tersebut diatas infeksi pada janin dapat
terjadi melalui kulit bayi atau “port de entre” lain saat bayi melewati jalan
lahir yang terkontaminasi oleh kuman (mis. Herpes genitalis, candida albican
dan gonorrea).
c. Infeksi pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang
terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial dari
lingkungan diluar rahim (mis, melalui alat-alat; pengisap lendir, selang
endotrakea, infus, selang nasagastrik, botol minuman atau dot). Perawat
atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat menyebabkan terjadinya infeksi
nasokomial, infeksi juga dapat terjadi melalui luka umbilikus.
C.
Etiologi
Sepsis biasanya disebabkan oleh
infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat disebabkan oleh virus, atau semakin
sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme kausal yang paling sering
ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus
aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus,
Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya,
sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari
mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari host
terhadap infeksi.
Kultur darah positif pada 20-40%
kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur
darah yang positif, terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies
bakteri gram positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau
mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan
serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi
daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses
oleh kultur.
Insidensi sepsis yang lebih tinggi
disebabkan oleh bertambah tuanya populasi dunia, pasien-pasien yang menderita
penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang
relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan
glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan
kateter), dan ventilasi mekanis
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di
bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis
adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering
dihubungkan dengan sepsis yaitu:
1) Infeksi paru-paru (pneumonia)
2) Flu (influenza)
3) Appendiksitis
4) Infeksi lapisan saluran pencernaan
(peritonitis)
5) Infeksi kandung kemih, uretra, atau
ginjal (infeksi traktus urinarius)
6) Infeksi kulit, seperti selulitis,
sering disebabkan ketika infus atau kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh
melalui kulit
7) Infeksi pasca operasi
Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.
Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat
terdeteksi.
Tanda dan Gejala
a. Tanda dan
Gejala Umum
1) Hipertermia
(jarang) atau hipothermia (umum) atau bahkan normal.
2) Aktivitas lemah
atau tidak ada
3) Tampak sakit
4) Menyusun
buruk/intoleransi pemberian susu.
b. Sistem
Pernafasan
1) Dispenu
2) Takipneu
3) Apneu
4) Tampak tarikan
otot pernafasan
5) Merintik
6) Mengorok
7) Pernapasan
cuping hidung
c. Sistem
Kardiovaskuler
1) Hipotensi
2) Kulit lembab
dan dingin
3) Pucat
4) Takikardi
5) Bradikardi
6) Edema
7) Henti jantung
d. Sistem
Pencernaan
1) Distensi abdomen
2) Anoreksia
3) Muntah
4) Diare
5) Hepatomegali
e. Sistem Saraf
Pusat
1) Refleks moro
abnormal
2) Intabilitas
3) Kejang
4) Hiporefleksi
5) Tremor
6) Koma
7) Pernafasan
tidak teratur
f. Hematologi
1) Ikterus
2) Petekie
3) Purpura
4) Perdarahan
5) Splenomegali
6) Pucat
D.
Komplikasi
Komplikasi bervariasi berdasarkan
etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi yang mungkin terjadi
meliputi:
1) Cedera paru akut (acute lung injury)
1) Cedera paru akut (acute lung injury)
dan sindrom gangguan fungsi
respirasi akut (acute respiratory distress syndrome) Milieu inflamasi dari
sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru. Terbentuknya cairan inflamasi
dalam alveoli mengganggu pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan
menurunkan komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan
hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau sebagian
besar kasus sepsis yang berat dan biasanya mudah terlihat pada foto toraks,
dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien
yang septik yang pada mulanya tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya
mungkin memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi
cairan.
2) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan secara konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan. Timbulnya koagulopati pada sepsis berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.
3) Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor (yang paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.
4) Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik, dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang lama.
5) Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan.
6) Sindroma disfungsi multiorgan
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk mempertahankan homeostasis.
a) Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.
2) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan secara konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan. Timbulnya koagulopati pada sepsis berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.
3) Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor (yang paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.
4) Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik, dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang lama.
5) Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan.
6) Sindroma disfungsi multiorgan
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk mempertahankan homeostasis.
a) Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.
b)
Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons
peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS pada keadaan
urosepsis.
7)Meningitis (peradangan pada selaput otak dan sumsum tulang
belakang)
8) Gangguan metabolic
9)Pneumonia (penyakit radang paru-paru)
E.
Pathways
F.
Manifestasi klinis
Perjalanan sepsis akibat bakteri
diawali oleh proses infeksi yang ditandai dengan bakteremia selanjutnya
berkembang menjadi systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dilanjutkan
sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome
(MODS).
Sepsis dimulai dengan tanda klinis
respons inflamasi sistemik (yaitu demam, takikardia, takipnea, leukositosis)
dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan
septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang
menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer
(renjatan septik hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau
putih dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran pemeriksaan
fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi
dapat dimulai secara dini.
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah
kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih
sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia,
leukopenia dibandingkan leukositosis, dan pasien tidak dapat ditentukan skala
takikardia yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang mendapatkan beta
blocker atau antagonis kalsium) atau pasien ini kemungkinan menderita
takikardia yang berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada bayi yang
gelisah). Pada pasien dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang
nonspesifik dapat mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan
sekurang kurangnya pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks
dan urinalisis.
Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin
berlanjut menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama
perjalanan tinggal di unit gawat darurat, dengan permulaan hanya ditemukan
perubahan samar-samar pada pemeriksaan. Perubahan status mental seringkali
merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena perubahan status mental
dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium, tetapi mudah terlewatkan pada
pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan kemungkinan penyebabperubahan
tingkat kesadaran, seperti intoksikasi.
Penurunan produksi urine (≤ 0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda
klinis yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan pertimbangan klinis.
G.
Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab
infeksi, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila
diperlukan, terapi antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan
organ atau renjatan. Vasopresor dan inotropik, terapi suportif terhadap
kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi respons
imun maladaptifhost terhadap infeksi.
1) Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan
oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik,
dan transfusi bila diperlukan. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat
atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65
mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila
dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi
cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai
hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20
μg/kg/menit).
Pertimbangan utama untuk perawatan
sepsis adalah:
- Diagnosis dan identifikasi patogen dengan cepat.
- Identifikasi dengan cepat sumber infeksi
- Memulai terapi antimikroba yang agresif
- Penyediaan sokongan untuk kardiovaskular dan pulmonal
- Pertimbangan terapi metabolik dan terapi pendukung
1. Terapi
Antimikroba
a.
Terapi antimikroba agresif dan diberikan secepatnya
sangat penting
b.
Jika dicurigai adanya sepsis yang serius,
,penggunaan kombinasi antimikroba biasanya dianjurkan untuk memberikan efek
sinergis atau aditif, untuk memperluas cakupan, dan mengurangi kemungkinan
resistensi. Antibiotik yang bisa digunakan untuk perawatan empirik sepsis
c. Jika
dicurigai adanya P. aeruginosa, regimen ganda dengan penicillin
antipseudomonal atau cephalosporin generasi ketiga atau keempat dan
aminoglikosida dianjurkan penggunaannya.
d. Jika
aminoglikosida digunakan, dosis harian tunggal lebih disukai untuk mencapai
konsentrasi puncak lebih awal pada perawatan. Pemberian dosis tunggal harian
sebaiknya tidak diberikan pada pasien anak, pasien luka bakar, pasien hamil,
pasien dengan disfungsi renal, atau pasien yang membutuhkan aminoglikosida
untuk efek sinergis terhadap patogen gram positif. (Beale, 2004).
2. Sokongan
hemodinamik
a.
Oksigenasi jaringan yang cukup dan penjagaannya
penting dalam penanganan sepsis dan tergantung pada perfusi yang cukup serta
oksigenasi darah yang cukup.
b.
Resusitasi cairan dengan cepat sangat penting untuk
mengatasi hipotensi pada sepsis. Targetnya adalah mengembalikan perfusi
jaringan dengan memaksimalkan curah jantung dengan peningkatan preload
ventrikular kiri.
c.
Pemberian cairan sebaiknya dititrasi sampai ke titik
akhir klinik seperti denyut jantung, volume urin, dan tekanan darah. Ada
kontroversi menganai tipe cairan yang digunakan (kristaloid vs koloid).
Kristaloid isotoni, seperti 0,9% NaCl atau lactated Ringer, umum digunakan.
d.
Larutan koloid iso-oncotic (plasma dan fraksi
protein plasma), seperti albumin 5% dan hetastarch 6%, memberikan keuntungan
yaitu pemulihan volume intrvaskular lebih cepat dengan lebih sedikit volume
yang diinfuskan, tapi tidak ada kelebihan klinik yang signifikan (Duraira,
2008)
3. Dukungan
obat inotrope dan vasoaktif
Jika resusitasi cairan tidak cukup
untuk menjaga perfusi jaringan, penggunaan obat inotrope dan vasoaktif
diperlukan. Pemilihan dan dosis berdasar pada sifat farmakologi berbagai
katekolamin dan bagaimana pengaruhnya ke parameter hemodinamik.Protokol
Penggunaan Obat Inotrope dan Vasoaktif yang Dianjurkan
a.
Dopamine banyak digunakan dalam dosis rendah (1-5
μg/kg per menit) untuk meningkatkan perfusi renal dan mesenteric. Dopamine
dosis sedang (10-20μg/kg per menit) bisa digunakan untuk menyokong tekanan
darah.
b.
Dobutamine (dosis 2-20 μg/kg per menit) adalah agen
inotropi β adrenergik yang penggunaannya disukai untuk meningkatkan curah
jantung dan penyaluran oksigen. Dobutamine bisa dipertimbangkan penggunaannya
pada pasien sepsis parah dengan tekanan pengisian dan tekanan darah yang cukup
tapi cardiac index rendah.
c.
Norepinephrine adalah agen α adrenergik poten
(0,01-3 μg/kg per menit) yang berguna pada syok septik untuk vasokontriksi
perifer. Phenylephrine juga bisa berguna pada pasien dengan hipotensi yang
bertahan.
d.
Epinephrine 0,1-0,5 μg/kg per menit, meningkatkan
curah jantung dan menyebabkan vasokontriksi perifer. Penggunaannya disimpan
untuk pasien yang gagal merespon terapi standar.
e.
Sebelum pemberian agen vasoaktif, sebaiknya
dilakukan resusitasi cairan agresif. Agen vasoaktif sebaiknya tidak digunakan
untuk alternatif resusitasi volume (Hollenberg, 2007).
4. Terapi
tambahan
a. Glukokortikoid
bisa berguna untuk pasien dengan ARDS dan penyakti fibrotic ketika digunakan
5-7 hari setelah onset ARDS. Penggunaan rutin glukokortikoid pada pasien dengan
sepsis atau syok tidak dianjurkan.
b. Heparinisasi
untuk penanganan DIC telah dianjurkan karena perdarahan paradoksikal disebabkan
oleh kondisi hiperkoagulasi; tetapi, hanya ada sedikit bukti klinik yang
menyebutkan heparin bisa meningkatkan keselamatan pasien.
c. Nutrisi
enteral sebaiknya diberikan secepatnya pada pasien dengan sepsis parah atau
syok sepsis. (Overgrad, 2008).
2) Eliminasi sumber infeksi
Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya
tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi
dan implan prostesis yang terinfeksi. Tindakan ini dilakukan secepat mungkin
mengikuti resusitasi yang adekuat.
3) Terapi
antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi
antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis
berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang
memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke
tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan
oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan
endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana
terjadi proses inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada
sepsis berat dan gagal multi organ.
H.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1.
PENGKAJIAN
a. Identitas Klien
b. Riwayat Penyakit
1) Keluhan utama
2)
Riwayat penyakit
sekarang
3)
Riwayat penyakit
dahulu.
4)
Riwayat penyakit
keluarga
c.
Riwayat Tumbuh Kembang
1)
Riwayat
prenatal
Anamnesis mengenai riwayat inkompatibilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya, kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikanpd ibu selama hamil / persalinan, persalinan dgntindakan / komplikasi.
Anamnesis mengenai riwayat inkompatibilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya, kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikanpd ibu selama hamil / persalinan, persalinan dgntindakan / komplikasi.
2)
Riwayat
neonatal
Secara klinis ikterus pada neonatal dapat dilihatsegera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampakpun ssngat tergantung kepada penyebeb ikterus itu sendiri. Bayi menderita sindrom gawat nafas, sindrom crigler-najjar, hepatitis neonatal, stenosis pilorus, hiperparatiroidisme, infeksi pasca natal dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada neonatal dapat dilihatsegera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampakpun ssngat tergantung kepada penyebeb ikterus itu sendiri. Bayi menderita sindrom gawat nafas, sindrom crigler-najjar, hepatitis neonatal, stenosis pilorus, hiperparatiroidisme, infeksi pasca natal dan lain-lain.
d.
Riwayat
Imunisasi
e.
Pemeriksaan Fisik
1)
Inpeksi
2)
Palpasi
3) Perkusi
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah :
a. Hipertermi berhubungan dengan efek
endotoksin, perubahan regulasi temperatur, dihidrasi, peningkatan
metabolism
b. Resiko tinggi perubahan perfusi
jaringan berhubungan dengan hipovolemia
c. Resiko tinggi kekurangan volume
cairan berhubungan kebocoran cairan kedalam
intersisial
d. Resiko tinggi kerusakan pertukaran
gas berhubungan dengan terganggunya pengiriman oksigen kedalam
jaringan,
e. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi
f. Resiko tinggi infeksi berhubungan
dengan penurunan sistem
imun
3.
INTERVENSI
1) Hipertermi berhubungan dengan efek endotoksin
Perubahan regulasi temperatur, dihidrasi, peningkatan
metabolisme. Keadaan dimana seseorang individu mengalami peningkatan suhu tubuh
diatas 37,8 C peroral atau 38,8 C perektal karena faktor external.
a.
Pantau
suhu pasien
Rasional : suhu 38,9 -41,1 derajad celcius
menunjukkkan proses penyakit infeksius akut
2. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen sesuai
indikasi
Rasional : suhu ruangan harus di ubah untuk
mempertahankan suhu mendekati normal
3. Berikan kompres hangat, hindari penggunaan alcohol
Rasional : membantu mengurangi demam
4. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik, misalnya aspirin,
asetaminofen
Rasional : mengurangi demem dengan aksi
sentral pada hipotalamus
2) Resiko tinggi perubahan perfusi
jaringan berhubungan dengan hipovolemia
Suatu penurunan O2 yang mengakibatkan kegagalan untuk
pemulihan jaringan pada tingkat kapiler
1. Pertahankan tirah baring
Rasional : menurunkan beban kerja mikard dan
konsumsi oksigen
2. Pantau perubahan pada tekanan darah
Rasional: hipotensi akan berkembang
bersamaan dengan mikroorganisme menyerang aliran darah.
3. Pantau frekuensi dan irama jantung, perhatikan disritmia
Rasional : disritmia jantung dapat terjadi
sebagai akibat dari hipoksia
4. Kaji ferkuensi nafas, kedalaman, dan kualitas
Rasional
: peningkatan pernapasan terjadi
sebagai respon terhadap efek-efek langsung endotoksin pada pusat pernapasan
didalam otak
5. Kolaborasi dalam pemberian cairan parenteral
Rasional : mempertahankan perfusi jaringan.
3) Resiko tinggi kekurangan volume
cairan berhubungan dengan kebocoran cairan kedalam intersisial
Cairan sangat diperlukan dalam menjaga tubuh manusia supaya
tetap sehat dan merupakan salah satu bagian penting.
1. Catat haluaran urine setiap jam dan berat jenisnya
Rasional
: penurunan urine mengindikasikan
penurunan perfungsi ginjal serta menyebabkan hipovolemia
2. Pantau tekanan darah dan denyut jantung
Rasional
: pengurangan dalam sirkulasi volum
cairan dapat mengurangi tekanan darah.
3. Kaji membrane mukosa
Rasional : hipovolemia akan memperkuat
tanda-tanda dehidrasi
4. IMPLEMENTASI
Merupakan langkah keempat dalam tahap proses keperawatan
dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang
telah direncanakan dalam rencanan tindakan keperawatan. (Aziz Alimul, 2009)
5. EVALUASI
1.
Suhu tubuh dalam batas normal, bebas
dari kedinginan
2.
Tidak terjadi syok hipovolemik
3.
Intake cairan adekuat
4.
Frekuensi oksigen ke jaringan
adekuat
5.
Menunjukan peningkatan berat badan
mencapai rentang yang diharapkan
6.
Tidak terjadi infeksi
7.
Pasien mengetahui, mengerti dan
patuh dengan program terapeutik
B IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sepsis adalah suatu peradangan
sistemik yang diakibatkan oleh infeksi. Banyak penyebab yang dapat menimbulkan
sepsis, diantaranya yaitu pembedahan di bagian tubuh yang terinfeksi,
memasukkan benda asing ke dalam tubuh, penyalahgunaan obat terlarang yang
disuntikkan, penurunan kekebalan tubuh. Sedangkan pada neonates, yaitu
perdarahan; infeksi pada plasenta; ketuban pecah dini, demam pada ibu, dan lain
sebagainya.
4.2 Saran
Kita sebagai calon perawat harus
mengetahui apa itu sepsis, termasuk dalam hal asuhan keperawatan pada pasien
sepsis. Setidaknya, kita memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang sepsis.
Untuk masyarakat yang telah mengetahui tentang sepsis, sebaiknya harus menjaga
kesehatan dirinya, keluarganya, dan terutama untuk ibu hamil harus
memperhatikan kesehatan diriya dan bayinya.
DAFTAR PUSTAKA
Arif,
mansjoer (2000). Kapita selekta
kedokteran. Jakarta: EGC.
Guntur, 2008; Cirioni et al., 2006.
Hotchkiss dan Irene, 2003; Chang et al., 2007
Perawatan bayi beriko tinggi, penerbit buku kedoktoran,
jakarta : EGC