makalah fraktur maxilla




SISTEM MUSKULOSKELETAL
“Asuhan Keperawatan Dengan Kasus Fraktur Maxilla
Dosen Pengajar : Rusmawati Sitorus S.Pd S.Kep MA
Disusun oleh :

Ira Safira         (16025)










AKADEMI KEPERAWATAN HARUM
JAKARTA 2018
                                               
                                           KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan Dengan Kasus Fraktur Maxilla” ini tepat pada waktu yang ditentukan. Pembuatan makalah ini tentunya mendapat bimbingan dari berbagai pihak. Kami  mengucapkan trimaksih kepada:
1.      Ibu Rosmawati, S.Pd,S.Kep.MA selaku Direktur dan Dosen Pembimbing Mata Ajar.
2.      Ibu Ns.Wiwik Sofiah APP.,M.Kep selaku wali kelas tingkat III.
3.      Orang tua yang telah memberikan dukungan sepenuhnya baik material  maupun spiritual.
4.      Teman-teman yang senantiasa memberikan semangat dan dorongan selama menulis Makalah ini.
Kami dapat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh karna itu kami sangat menghargai akan saran dan kritik untuk membangun makalah ini lebih baik lagi. Demikian yang dapat saya sampaikan,semoga melalui makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami semua.


                                                                                      Jakarta         Okteber 2018

                                                                       
                                                                                                Ira Safira
                                                            i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.       Latar belakang ............................................................................... 1
B.        Tujuan  ........................................................................................... 1
C.       Manfaat ......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
                I.        KOSEP DASAR
A.    Definisi  .................................................................................. 2
B.     Etiologi  .................................................................................. 3
C.     Patofisiologi  .......................................................................... 3
D.    Klasifikasi .............................................................................. 5
E.     Manifestasi klinik.................................................................... 6
F.      Pemeriksaan penunjang .......................................................... 7
G.    Penatalaksanaan...................................................................... 7
H.    komplikasi .............................................................................. 8
                II.     TEORI ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR MAXILLA
A.    Pengkajian .............................................................................. 9
B.     Diagnosa ................................................................................ 10
C.     Intervensi ............................................................................... 11
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ...................................................................................... 22
B.     Saran ................................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA




                                                            ii




BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Fraktur maxilla adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang Forntal. Temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan madibula. Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktir yang datangnya dari luar seperti kecelakaan lalu linta, kecelakaan saat olahraga. (Grace and Borley, 2009)
Fraktur maxilla adalah kerusakan pada tulang maxilla yang seringkali terjadi akibat adanya trauma, periodonitis (reaksi peradangan pada jaringan sekitar gigi yang terkadang berasal dari peradangan gingivitis di dalam periodontium) maupun neoplasia. (Kruger, 2008)
B.     Tujuan
a.       Tujuan umum
Untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada klien Fraktur Maxilla dengan menggunakan metode proses keperawatan.
b.      Tujuan khuus
1. Mendapatkan gambaran tentang konsep fraktur maxilla
2. Mampu membuat pengkajian keperawatan pada klien dengan fraktur maxilla
3. Mampu membuat diagnosa keperawatan berdasarkan kasus tersebut
4. Mampu membuat rencana keperawatan berdasarkan teori

C.    Manfaat
a.       Menambah wawasan, pengetahuan penulis dan pembaca di bidang kesehatan khususnya pada sistem muskuloskeletal.
b.      Memberikan informasi mengenai masalah keperawatan pada pasien fraktur maxilla.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
I.        Konsep Dasar
A.    Definisi
Fraktur maxilla adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang Forntal. Temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan madibula. Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktir yang datangnya dari luar seperti kecelakaan lalu linta, kecelakaan saat olahraga. (Grace and Borley, 2009)

Fraktur maxilla adalah kerusakan pada tulang maxilla yang seringkali terjadi akibat adanya trauma, periodonitis (reaksi peradangan pada jaringan sekitar gigi yang terkadang berasal dari peradangan gingivitis di dalam periodontium) maupun neoplasia. (Kruger, 2008)

Rusaknya kontinuitas tulang maxillaris sinistra yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak langsung. Fraktur maksila dapat menyebabkan robekan pada sinus maxilaris. (Elizabeth J.Corwin, 2009)
Maxila dibentuk oleh tulang maksila dan palatum, merupakan tulang terbesar setelah mandibula (Moe, 2013). Masing-masing maxila mempunyai bagian :
1.      Corpus : yang berbentuk pyramid dengan empat permukaan dinding
a.       Facies orbitalis yang ikut membentuk dasar kavum orbita
b.      Facies nasalis yang ikut membentuk dinding lateral cavum nasi
c.       Facies infra temporalis yang menghadappostero-lateral
d.      Facies anterior
2.      Processus, terdiri dari empat, yaitu :
a.       Processus frontalisyang bersendi pada os frontal, nasal dan lakrimalis
b.      Processus zygomaticus yang bersendi pada os zygomatikus
c.       Processus alveolaris yang ditempati akar gigi
d.      Processus palatinus yang memisahkan cavum nasi dengan cavum oris
B.     Etiologi
Fraktur maxilla dapat disebabkan oleh trauma atau karena proses patologis
1.      Traumatic Fracture
Fraktur yang disebabkan oleh pukulan saat :
a)      Perkelahian
b)      Kecelakaan
c)      Tembakan
2.      Pathologic Fracture
Fraktur yang disebabkan oleh keadaan patologis dimana tulang dalam keadaan sakit, tulang tipis atau lemah, sehingga bila ada trauma ringan seperti berbicara, makan dan mengunyah dapat terjadi fraktur.
Terjadi karena    :
a)      Penyakit tulang setempat
b)      Kista
c)      Tumor tulang jinak atau ganas
d)     Keadaan dimana resorpsi tulang sangat besar sekali sehingga dengan atau tanpa trauma dapat terjadi fraktur, misalnya pada osteomyelitis
3.      Penyakit umum yang mengenai tulang sehingga tulang mudah patah
a)      Osteomalacia
b)      Osteoporosis

C.    Patofisiologi
Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung.
1.      Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat  dari pukulan berat pada dahi. Bagiananterior dan / atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
2.      Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.
3.        Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.
4.        Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.
5.      Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.
6.      Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.
7.      Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma langsung.
8.      Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau rahang bawah
9.      Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah

D.    Klasifikasi
Klasifikasi fraktur maxila dikembangkan pertama kali oleh Rene Le Fort (1869-1951), ahli bedah dari Lilie, dan Martin Wassmun (1892-1956), ahli bedah mulut dan maksilofasial dari Berlin (Budiharja & Rahmat, 2012).dengan melaporkan penelitian pada jenazah yang mengalami trauma tumpul pada wajah. Disimpulkan terdapat pola prediksi fraktur berdasarkan kekuatan dan arah trauma  (Thornton,Talavera&Garza, 2006) Dibagi kedalam 3 tipe yaitu :
1.      Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I terjadi di atas level gigiyang menyentuh palatum, meliputi keseluruhan prosesus alveolar dari maksila, kubah palatum dan prosesus pterigoid. Fraktur membentang secara horizontal menyeberangibasis sinus maksila (Fraioli, 2008). Dengan demikian dindingmaksilari transversal bawah akan bergeserterhadap tulang wajah lainnya maupun kranium (Hopper Richard A, 2006)
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggalatau bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III. Fraktur Le Fort I inisering disebut sebagai fraktur transmaksilari/ Guerin(Budiharja & Rahmat, 2012).

2.      Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secaraklinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanyaberkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur pyramidalmelibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dannasofrontalis merupakan sutura yang sering terkenaSeperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahangatas, bisa merupakan suatu keluhan atau ditemukan saatpemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibandingfraktur Le Fort I, begitu juga dengangangguan oklusinya, tidak separah padaLe Fort I (Baumann, Troulis&Kaban, 2004)
3.      Fraktur Le Fort III (craniofacial disjunction).
Fraktur jenis ini merupakan cedera yangterparah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempatperlekatannya yakni basis kranii(Fraioli, 2008) Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral,di mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan yang dihasilkandapat mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuatuntuk mengakibatkan trauma intracranial (Suardi, 2012).

E.     Manifestasi Klinik
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
1.      Nyeri pembengkakan
2.      Tidak dapat menggunakan dagu bawah
3.      Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, penganiayaan, tertimpa benda berat, trauma olah raga)
4.      Deformitas
5.      Kelainan gerak



F.     Pemeriksaan Penunjang
1.      Wajah Bagian Atas :
a.       CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
b.      CT-scan aksial koronal
c.       Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray kepala
2.      Wajah Bagian Tengah :
a.       CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
b.      CT scan aksial koronal
c.       Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior (Caldwells), Submentovertek (Jughandles)
3.      Wajah Bagian Bawah :
a.       CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D
b.      Panoramic X-ray
c.       Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi
d.      Posteroanterior (Caldwells)
e.       Posisi lateral (Schedell)

G.    Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada fraktur maksila tahap awal meliputipembebasanjalan nafas, kontrol pendarahan,penutupan luka pada soft tissue, dan menempatkan segmen tulang yang fraktur sesuai denganposisinya melalui fiksasi intermaksilari (Fraioli, 2008).
Jika pada awal kejadian  jalan nafas mengalami  perdarahan dan obstruksi maka harus segera dilakukan tindakan,  kadang diperlukantracheostomy, dilanjutkan dengan reduksi dan fixasi jika memungkinkan.
1.      Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar,fiksasimaksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yangdidapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen frakturmengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan denganmenggunakan tang pengungkit, atau secara tidak langsung denganmenggunakan tekanan pada splint/arch bar (Fraioli, 2008).
2.      Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa denganfraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukanperawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanyadireduksi dengan menggunakan molding digital dan splinting (Baumann, Troulis& Kaban, 2004)
3.      Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat denganmenggunakanarch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatanlangsung bilateral, atau pemasangan pelat pada suturazigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosessuszigomatikus ossis frontalis (Fitriana  dan Syamsudin, 2013)
Manajemen pasca operasi terdiri dariperawatan secara umum pada pasien seperti kebesihan gigi dan mulut, nutrisi yang cukup, danantibiotik selama periode perioperasi

H.    Komplikasi
1.      Perdarahan ulang
2.      Kebocoran cairan otak
3.      Infeksi pada luka atau sepsis
4.      Timbulnya edema serebri
5.      Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
6.      Nyeri kepala setelah penderita sadar
7.      Konvulsi





II.          TEORI ASUHAN KEPERAWATAN
A.    Pengkajian
1.      Aktifitas dan istirahat
Gejala       : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
Tanda       : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara berjalan tidak tegap, masalah dlm keseimbangan, cedera/trauma ortopedi, kehilangan tonus otot.
2.      Sirkulasi
Gejala       : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia)
3.      Integritas ego
Gejala       : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda       :Cemas,mudah tersinggung,delirium,agitasi,bingung,depresi
4.      Eliminasi
Gejala       : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi
5.      Makanan/cairan
Gejala       : mual,muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda       : muntah,gangguan menelan
6.      Neurosensori
Gejala       :Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,tinitus,kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan pengecapan dan penciuman
Tanda       : Perubahan kesadran bisa sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil, kehilangan penginderaan, wajah tdk simetris, genggaman lemah tidak seimbang, kehilangan sensasi sebagian tubuh
7.      Nyeri/kenyamanan
Gejala       : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama
Tanda       : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri, nyeri yang hebat,merintih
8.      Pernafasan
Tanda       : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak,ronkhi,mengi
9.      Keamanan
Gejala       : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda       : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan
10.  Kulit : laserasi,abrasi,perubahan warna,tanda batle disekitar telinga,adanya aliran cairan dari telinga atau hidung
11.  Gangguan kognitif
Gangguan rentang gerak

B.     Diagnosa
1.      Risiko tinggi peningkatan tekanan intracranial yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma.
2.      Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan di otak, kelemahan oto-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
3.      Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum, peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.
4.      Perubahan kenyamanan: nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
5.      Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia

C.    Intrvensi Keperawatan

DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi
Rasionalisasi
Mandiri
Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab koma/penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.

Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologis/ tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam
Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan merupakan tanda  penurunan difusi local vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diastolic) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intrakrinial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan reaksi terhadap cahaya.
Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III cranial (okulomotorik) yang menunjukkan keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf cranial II dan III.
Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.
Panas merupakan refleks dari hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolism dan O2 akan menunjang peningkatan TIK/ ICP (Intracranial Pressure).
Pertahankan kepala/ leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada kepala.
Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak (menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu dapat meningkatkan TIK
Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase punggung, lingkungan yang tenang. Sentuhan yang ramah, dan suasana / pembicaraan yang tidak gaduh.
Memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat mengurangi respons psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan TIK yang rendah.
Observasi tingkat kesadaran dengan GCS.
Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi dan perkembangan
Kolaborasi :
Pemberian O2 sesuai indikasi.

Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi serebral, volume darah, dan menaikkan TIK.
Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam intracranial.
Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dilakukan bila kemungkinan terdapat tanda-tanda deficit neurologis yang menandakan peningkatan ntrakranial.
Berikan cairan intravena sesuai indikasi.
Pemberian cairan mungkin di inginkan untuk mengurangi edema serebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah, tekanan darah dan TIK.
Berikan obat osmosis diuretic contohnya : manitol, furoscide.
Diuretic mungkin digunakan pada fase akut untuk mengalirkan air dari sel otak dan mengurangi edema serebral dan TIK.
Berikan steroid contohnya : dexamethason, methyl prenidsolon.
Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan.
Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti prothrombin, LED.
Membantu memberikan informasi tentang efektifitas pemberian obat.







DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi
Rasional
Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
Observasi fungsi pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital.
Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunujukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
Jelaskan pada klien tentang etiologi/factor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
Pertahankan perilaku tenang, bantu klien untuk control diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
Periksalah alarm pada ventilator sebelum difungsikan. Jangan
Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
Ventilator yang memiliki alarm yang bias dilihat dan didengar misalnya alarm kadar oksigen, tinggi/rendahnya tekanan oksigen.
Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba-tiba berhenti.
Melatih klien untuk mengatur napas seperti napas dalam, napas pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat membantu memaksimalkan fungsi dan system pernapasan.
Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin.
Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer untuk menganalisis batas/kadar oksigen.
Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg). periksa fungsi spirometer.
Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai kesiapan perawat dalam memberikan tindakan pada penyakit primer setelah menilai hasil diagnostik dan menyediakan sebagai cadangan.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.
§  Pemberian antibiotik.
§  Pemberian analgesic.
§  Fisioterapi dada.
§  Konsul foto thoraks.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.






DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran pernapasan.
Intervensi
Rasional
Kaji keadaan jalan napas
Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mucus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi dari endotracheal/tracheostomy tube yang berubah.
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral).
Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan suara napas seperti ronkhi atau wheezing.
Monitor letak/posisi endotracheal tube. Beri tanda batas bibir.
Lekatkan tube secara hati-hati dengan memakai perekat khusus.
Mohon bantuan perawat lain ketika memasang dan mengatur posisi tube.
Endotracheal tube dapat saja masuk ke dalam bronchus kanan, menyebabkan obstruksi jalan napas ke paru-paru kanan dan mengakibatkan klien mengalami pneumothoraks.
Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara alarm dari ventilator karena tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret melalui endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya bunyi ronkhi.
Selama intubasiklien mengalami refleks batuk yang tidak efektif, atau klien akan mengalami kelemahan otot-otot pernapasan (neuromuscular/neurosensorik), keterlambatan untuk batuk. Semua klien tergantung dari alternatif yang dilakukan seperti mengisap lender dari jalan napas.
Lakukan penghisapan lender jika diperlukan, batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter pengisap yang sesuai, cairan fisiologis steril.
Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan pengisapan dengan ambu bag (hiperventilasi).
Pengisapan lendir tidak selamanya dilakukan terus-menerus, dan durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia.
Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih dari 50% diameter endotracheal/tracheostomy tube untuk mencegah hipoksia.
Dengan membuat hiperventilasi melalui pemberian oksigen 100% dapat mencegah terjadinya atelektasis dan mengurangi terjadinya hipoksia.
Anjurkan klien mengenai tekhik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi.
Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari saluran napas.
Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2jam).
Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-paru, mengurangi risiko atelektasis.
Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.
Membantu pengenceran sekret, mempermudah pengeluaran sekret.
Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk.
Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, dapat
Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
Tahap napas selama 3-5 detik kemudian secara perlahan-lahan, dikeluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
Meningkatkan volume udara dalam paru, mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
Sekresi kental sulit untuk di encerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mucus, yang mengarah pada atelektasis.
Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
Higine mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.
§  Pemberian ekspektoran.
§  Pemberian antibiotic.
§  Fisioterapi dada.
§  Konsul foto thoraks
Ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainage, perkusi/penepukan.
Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan pengeluaran sekret.








DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi
Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non-invasif.
Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunujukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
Ajarkan relaksasi :
Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.

Akan melansarkan peredaran darah sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.
Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik.
Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.









DX 5 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif dan motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda peningktan TIK,  
Intervensi
Rasional
Kaji ulang tanda-tanda vital
klien dan status relirologis klien
Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangankerusakan ssp.
Monitor tekanan darah, catat adanya hipertensi sistolik secara teratur dan tekanan nadi yang makin berat, obs, ht, pada klien yang mengalami trauma multiple.
Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti penurunan tekanan darah distolik (nadi yang
membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, juga diikuti ( yang berhubungan
Monitor Heart Rate, catat adanya bradikardi, takikardi atau bentuk disritmia lainya.
Perubahan pada ritme (paling sering bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang encerminkan
adanya depresi / trauma pada batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.
Monitor pernafasan meliputi pola dan ritme, seperti periode apnea setelah hiperventilasi
(pernafasan cheyne – stokes).
Nafas tidak teratur menunjukkan adanya gangguan
serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan
dukungan nafas buatan.
Pertahankan kepala / leher pada posisi tengah/ pada posisi netral. Sokong dengan handuk kecil /
bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala
Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah lain yang selanjutnya akan
meningkat TIK.
Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 –
45o sesuai indikasi / yang dapat ditoleransi.
Meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga mengurangi kongesti dan edema
/ resiko terjadinya peningkatan TIK.
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi :
- Diuretik
- Steroid
- Analgetik sedang
- Sedatif
-       Untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak TIK.
-       Menurunkan inflasi, yang
selanjutnya menurunkan edema jaringan.
-       Menghilangkan nyeri dan dapat berakibat  pada TIK tetapi  harus digunakan dengan hasil untuk mencegah gangguan
pernafasan.
-       Untuk mengendalikan kegelisahan agitas








BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Fraktur maxilla adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang Forntal. Temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan madibula. Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktir yang datangnya dari luar seperti kecelakaan lalu linta, kecelakaan saat olahraga.

Fraktur maxilla adalah kerusakan pada tulang maxilla yang seringkali terjadi akibat adanya trauma, periodonitis (reaksi peradangan pada jaringan sekitar gigi yang terkadang berasal dari peradangan gingivitis di dalam periodontium) maupun neoplasia

 

B.     saran

Sebaiknya seorang perawat dapat melaksanakn asuhan keperawatan kepada klien
osteoarthritis sesuai dengan indikasi
 penyakit dan
seorang perawat dapat melakukan asuhan keperawatan pada pasien fraktur maxilla
dengan baik dan benar











                                                DAFTAR PUSTAKA

Budiharja AS, Rahmat M. Trauma oral dan maksilofasial. Juwono L: Editor.Jakarta: EGC, 2011: p.33-171.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : Buku Saku edisi 3. Jakarta : EGC

Idrus, Alwi, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi V, jilid III. Jakarta : Internal Publishing
Muttaqin, Arif. 2011. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal : Aplikasi Pada Praktik Klinik Keperawatan. Jakarta : EGC
Nurma, Ningsih lukman. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Musculoskeletal. Jakarta: Salemba Medika
Smeltzer C. Suzannne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Andry Hartono, dkk. Jakarta : EGC
Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta : EGC
Wilkinson, Judith.M, Nancy R.Ahern. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan : Diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC.Edisi 9. Jakarta : EGC
Zairin, Noor Helmi. 2014. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika



makalah fraktur maxilla

SISTEM MUSKULOSKELETAL “Asuhan Keperawatan Dengan Kasus Fraktur Maxilla ” Dosen Pengajar : Rusmawati Sitorus S.Pd S.Kep MA Dis...